Hak seorang Istri kepada Suaminya

Allah Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa`: 19)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menetapkan sanksi atas hak dua orang yang lemah, yaitu hak anak yatim dan hak seorang wanita.” (HR. Ahmad no. 9289, Ibnu Majah no. 3668, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1015)
Yakni: Menetapkan saksi atas siapa saja yang menelantarkan hak kedua orang itu.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَإِذَا شَهِدَ أَمْرًا فَلْيَتَكَلَّمْ بِخَيْرٍ أَوْ لِيَسْكُتْ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, kemudian dia menyaksikan suatu peristiwa, hendaklah dia berbicara dengan baik atau diam. Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas. Jika kamu berusaha untuk meluruskannya niscaya akan patah, tapi jika kamu membiarkannya maka dia akan senantiasa bengkok. Karenanya berwasiatlah terhadap wanita dengan kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1568)
Dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairi dari ayahnya dia berkata: Aku pernah bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang di antara kami atas dirinya? Beliau menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Daud no. 2142)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah, jika dia membenci salah satu perangainya, niscaya dia akan ridha dengan perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.” (HR. At-Tirmizi no. 1162)
Penjelasan ringkas:
Sebagaimana suami punya hak dari istrinya maka sebaliknya istri juga punya hak dari suaminya. Suami wajib memperlakukan mereka dengan baik sebagaimana mereka senang diperlakukan dengan baik oleh istrinya, bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadikan hal itu sebagai tanda kesempurnaan iman seorang suami. Hak dan kewajiban dalam rumah tangga merupakan faktor yang sangat penting. Karena dengan memperhatikan hal tersebut maka hubungan keduanya akan senantiasa harmonis, dan sebaliknya akan menyebabkan perpecahan di antara keduanya. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya sangat menekankan masalah hak dan kewajiban suami istri ini, karena suatu umat itu lahir dari keluarga. Jika keluarganya baik maka akan baik umat yang lahir darinya, dan demikian pula sebaliknya. Karenanya suami mana saja yang menelantarkan hak istrinya maka secara tidak langsung dia telah menjadi sebab dari rusaknya keluarganya dan baginya dosa yang sangat besar.
Di antara hak istri dari suaminya adalah:
1.    Secara umum memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang dia senang jika istrinya memperlakukan dia seperti itu.
2.    Menasehati istrinya dengan kebaikan.
3.    Bersabar dalam menasehatinya dan penuh hikmah di dalamnya. Tidak keseringan dinasehati sehingga membuatnya bosan atau membangkan dan tidak juga terlalu jarang sehingga membuatnya keluar dari akhlak seorang muslimah yang baik.
4.    Memberinya makan dari makanan yang dia makan.
5.    Memberinya pakaian semisal dengan pakaian yang dia gunakan. Kadar minimal wajibnya adalah memberikan kepada istrinya pakaian yang bisa menutupi auratnya.
6.    Tidak boleh memukul wajahnya.
7.    Tidak boleh mencelanya.
8.    Tidak boleh mendoakannya dengan doa yang jelek.
9.    Tidak memboikot dia kecuali di dalam rumah, yakni tidak menyuruhnya keluar dari rumah.
10.    Tidak membencinya dengan kebencian yang sangat, karena tentu masih ada perkara baik dari sisi lain yang dia senangi dari istrinya.
Sumber: http://al-atsariyyah.com/hak-istri-dari-suaminya.html/comment-page-1#comment-4105

Berdoa Mengangkat Kedua Tangan

Soal: Apakah menengadahkan kedua tangan ketika berdo’a disyari’atkan, dan pada khususnya ketika kita dalam keadaan safar di atas pesawat, mobil, kereta api atau dengan kendaraan lainnya ?

Jawab: Mengangkat tangan ketika berdo’a adalah salah satu sebab terkabulnya do’a di manapun kita berada, Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam bersabda:

إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْراً

“Sesungguhnya Tuhan kalian Tabaroka Wa Ta’ala adalah Maha Hidup dan Maha Mulia, Dia malu dari hamba-Nya apabila menengadahkan kedua tangannya kepada-Nya untuk dikembalikan dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi & Ibnu Majah).

Beliaupun bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik, dan Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan orang-orang mukmin dengan perintah yang diberikan kepada para Rosul, Dia berfirman: “Wahai para Rosul, makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan beramal shalehlah, Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Mukminun 51) dan Diapun berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari (makanan) yang baik-baik yang telah kami rizkikan kepada kalian.” (QS. Al-Baqorah 172), kemudian Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam menyebutkan seorang pria yang telah lama bepergian, rambutnya tak terurus, telapak kakinya berdebu, dan iapun menengadahkan tangannya ke arah langit (ia berkata) : Ya Robb, Ya Robb!, sedangkan makanannya haram ,minumannya haram, pakaiannya haram dan dia dibesarkan dari yang haram. Lalu bagaimana mungkin ia akan dikabulkan (do’anya).” (HR. Muslim).

Dalam hadits tersebut di atas Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam telah menjadikan menengadahkan tangan sebagai salah satu sebab terkabulnya do’a, dan di antara sebab tidak terkabul do’a adalah; makan haram dan dibesarkan oleh sesuatu yang diharamkan. Maka di sana sangat jelas sekali bahwa menengadahkan tangan adalah salah satu sebab terkabulnya do’a, baik itu di atas pesawat, di atas kereta, di atas mobil atau bahkan di pesawat luar angkasa sekalipun. Maka apabila ada seseorang yang berdo’a dengan mengangkat tangan, itu artinya ia telah melakukan salah satu sebab terkabulnya do’a, kecuali di beberapa tempat di mana Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam tidak menengadahkan tangannya di sana, maka kitapun tidak menengadahkannya juga di sana, seperti ketika khutbah jum’at, di sana Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam tidak mengangkat tangannya kecuali jikalau beliau sedang meminta hujan, saat itu beliau mengangkat kedua tangannya.

Demikian pula berdo’a ketika duduk di antara dua sujud dan sebelum salam di akhir Tasyahhud, beliau tidak pernah mengangkat tangan di sana. Maka dengan demikian kitapun tidak mengangkat tangan juga di waktu-waktu tersebut, karena perbuatan beliau sebagai dalil dan meninggalkannyapun berarti dalil.

Dan begitu pula halnya setelah salam dari shalat lima waktu; beliau melakukan dzikir dan wirid yang disyari’atkan dengan tidak mengangkat kedua tangannya. Maka saat itupun kita tidak mengangkatnya sebagai bentuk kesuritauladanan kita terhadap Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam. Adapun diwaktu di mana Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam mengangkat kedua tangannya, maka kitapun disunnahkan mengangkat kedua tangan kita sebagai bentuk kesuritauladanan kita juga kepada Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam dan karena itu dari sebab terkabulnya do’a. dan demikian pula jikalau seorang muslim hendak berdo’a kepada Allah Azza Wa Jalla sementara tidak didapatkan adanya dalil bahwa Rosulullah Shallallaahu ‘alai Wa Sallam mengangkat tangan atau tidak ditempat dan waktu itu, maka saat itupun ia mengangkat kedua tangan tangannya dengan argument hadits-hadits yang menunjukkan bahwa mengangkat kedua tangan adalah sebagai salah satu sebab terkabulnya do’a.

(lihat: Fatawa Ulama’ Al-Biladul Harom (Fatwa para ulama Negri Harom), hal 1702-1703. Majmu’ Fatawa Wa Maqolat Mutanawwi’ah, Syeikh Ibn Baz 6/158-159)

Disalin kembali dari http://icmkendari.com

Si Miskin

Al-Fuhdail bin Iyadh berkata:

يا مسكين، أنت مسئ وترى أنك محسن، وأنت جاهل وترى أنك عالم، وتبخل وترى أنك كريم، وأحمق وترى أنك عاقل، أجلك قصير، وأملك طويل.
قلت: إي والله، صدق، وأنت ظالم وترى أنك مظلوم، وآكل للحرام وترى أنك متورع، وفاسق وتعتقد أنك عدل، وطالب العلم للدنيا وترى أنك تطلبه لله.

“Wahai si Miskin! Engkau pelaku maksiat dan kamu memandang dirimu seorang yang baik, Engkau seorang yang jahil dan kamu memandang dirimu alim (berilmu), engkau seorang yang kikir dan kamu memandang dirimu dermawan, dan engkau seorang yang pandir dan kamu memandang dirimu berakal. Waktumu singkat, dan harapanmu panjang. 

Saya (Adz-Dzahabi) berkata: “Ya, Demi Allah beliau benar. Dan engkau seorang yang dzalim dan kamu memandang dirimu orang yang terdzalimi, dan kamu memakan yang haram dan memandang dirimu orang yang berhati-hati (menahan diri dari yang haram -red), dan engkau seorang fasik dan meyakini dirimu adil, dan kamu menuntut ilmu untuk dunia dan memandang bahwa dirimu menuntut ilmu karena Allah"

Sumber: Siyar Alam an-Nubalaa Biografi Fudhail bin Iyadh (8/440) (matan: Maktabah Syamilah v 3)

***


Al Fudayl ibn ‘Iyaad said,
“O Miskeen! You are an evil-doer and you think yourself to be one who does good. You are an ignoramus and you think yourself to be a scholar. You are a miser and you think yourself to be generous. O foolish one! You see that you are intelligent. Your time is short, but your hope is long.”

[Adh-Dhahabi]: I say: Yes, by Allah, he has spoken the truth. And you are an oppressor and you think yourself to be the one who is oppressed. And you eat what is unlawful and you think that you are cautious and fearful (in this regard). And you are a sinner and you think yourself to be just and upright. And you seek the knowledge (of the religion) for the world, and yet you think that you seek it for Allaah.

Source of translation: tawheedfirst.wordpress.com

Sedekah Yang Utama

Shadaqah adalah baik seluruhnya, namun antara satu dengan yang lain berbeda keutamaan dan nilainya, tergantung kondisi orang yang bersedekah dan kepentingan proyek atau sasaran shadaqah tersebut. Di antara shadaqah yang utama menurut Islam adalah sebagai berikut:

1. Shadaqah Sirriyah

Yaitu shadaqah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Shadaqah ini sangat utama karena lebih medekati ikhlas dan selamat dari sifat pamer. Allah subhanahu wata’ala telah berfirman,
“Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 2:271)

Yang perlu kita perhatikan di dalam ayat di atas adalah, bahwa yang utama untuk disembunyikan terbatas pada shadaqah kepada fakir miskin secara khusus. Hal ini dikarenakan ada banyak jenis shadaqah yang mau tidak mau harus tampak, seperti membangun sekolah, jembatan, membuat sumur, membekali pasukan jihad dan lain sebagainya.

Di antara hikmah menyembunyikan shadaqah kepada fakir miskin adalah untuk menutup aib saudara yang miskin tersebut. Sehingga tidak tampak di kalangan manusia serta tidak diketahui kekurangan dirinya. Tidak diketahui bahwa tangannya berada di bawah, bahwa dia orang papa yang tak punya sesuatu apa pun.Ini merupakan nilai tambah tersendiri dalam ihsan terhadap orang fakir.

Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alihi wasallam memuji shadaqah sirriyah ini, memuji pelakunya dan memberitahukan bahwa dia termasuk dalam tujuh golongan yang dinaungi Allah nanti pada hari Kiamat. (Thariqul Hijratain)

2. Shadaqah Dalam Kondisi Sehat

Bersedekah dalam kondisi sehat dan kuat lebih utama daripada berwasiat ketika sudah menjelang ajal, atau ketika sudah sakit parah dan tipis harapan kesembuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Shadaqah yang paling utama adalah engkau bershadaqah ketika dalam keadaan sehat dan bugar, ketika engkau menginginkan kekayaan melimpah dan takut fakir. Maka jangan kau tunda sehingga ketika ruh sampai tenggorokan baru kau katakan, "Untuk fulan sekian, untuk fulan sekian." (HR.al-Bukhari dan Muslim)

3. Shadaqah Setelah Kebutuhan Wajib Terpenuhi

Allah subhanahu wata’ala telah berfirman,
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (QS. 2:219)

Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Tidak ada shadaqah kecuali setelah kebutuhan (wajib) terpenuhi." Dan dalam riwayat yang lain, "Sebaik-baik shadaqah adalah jika kebutuhan yang wajib terpenuhi." (Kedua riwayat ada dalam al-Bukhari)

4. Shadaqah dengan Kemampuan Maksimal

Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alihi wasallam,
"Shadaqah yang paling utama adalah (infak) maksimal orang yang tak punya. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu." (HR. Abu Dawud)

Beliau juga bersabda,
"Satu dirham telah mengalahkan seratus ribu dirham." Para sahabat bertanya," Bagaimana itu (wahai Rasululullah)? Beliau menjawab, "Ada seseorang yang hanya mempunyai dua dirham lalu dia bersedakah dengan salah satu dari dua dirham itu. Dan ada seseorang yang mendatangi hartanya yang sangat melimpah ruah, lalu mengambil seratus ribu dirham dan bersedekah dengannya." (HR. an-Nasai, Shahihul Jami')

Al-Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, "Hendaknya seseorang memilih untuk bersedekah dengan kelebihan hartanya, dan menyisakan untuk dirinya kecukupan karena khawatir terhadap fitnah fakir. Sebab boleh jadi dia akan menyesal atas apa yang dia lakukan (dengan infak seluruh atau melebihi separuh harta) sehingga merusak pahala. Shadaqah dan kecukupan hendaknya selalu eksis dalam diri manusia. Rasululllah shallallahu ‘alihi wasallam tidak mengingkari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuyang keluar dengan seluruh hartanya, karena Nabi tahu persis kuatnya keyakinan Abu Bakar dan kebenaran tawakkalnya, sehingga beliau tidak khawatir fitnah itu menimpanya sebagaimana Nabi khawatir terhadap selain Abu Bakar. Bersedekah dalam kondisi keluarga sangat butuh dan kekurangan, atau dalam keadaan menanggung banyak hutang bukanlah sesuatu yang dikehendaki dari sedekah itu. Karena membayar hutang dan memberi nafkah keluarga atau diri sendiri yang memang butuh adalah lebih utama. Kecuali jika memang dirinya sanggup untuk bersabar dan membiarkan dirinya mengalah meski sebenarnya membutuhkan sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan juga itsar (mendahulukan orang lain) yang dilakukan kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin.” (Syarhus Sunnah)

5. Menafkahi Anak Istri

Berkenaan dengan ini Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Seseorang apabila menafkahi keluarganya dengan mengharapkan pahalanya maka dia mendapatkan pahala sedekah." ( HR. al-Bukhari dan Muslim)

Beliau juga bersabda,
"Ada empat dinar; Satu dinar engkau berikan kepada orang miskin, satu dinar engkau berikan untuk memerdekakan budak, satu dinar engkau infakkan fi sabilillah, satu dinar engkau belanjakan untuk keluargamu. Dinar yang paling utama adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu." (HR. Muslim). 


6. Bersedekah Kepada Kerabat

Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu memiliki kebun kurma yang sangat indah dan sangat dia cintai, namanya Bairuha'. Ketika turun ayat,
"Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai." (QS. 3:92)

Maka Abu Thalhah mendatangi Rasulullah dan mengatakan bahwa Bairuha' diserahkan kepada beliau, untuk dimanfaatkan sesuai kehendak beliau. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam menyarankan agar ia dibagikan kepada kerabatnya. Maka Abu Thalhah melakukan apa yang disarankan Nabi tersebut dan membaginya untuk kerabat dan keponakannya.(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alihi wasallam juga bersabda,
"Bersedakah kepada orang miskin adalah sedekah (saja), sedangkan jika kepada kerabat maka ada dua (kebaikan), sedekah dan silaturrahim." (HR. Ahmad, an-Nasa'i, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Secara lebih khusus, setelah menafkahi keluarga yang menjadi tanggungan, adalah memberikan nafkah kepada dua kelompok, yaitu:

  • Anak yatim yang masih ada hubungan kerabat, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
    ”(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang masih ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir.” (QS. 90:13-16)
  • Kerabat yang memendam permusuhan, sebagaimana sabda Nabi,
    "Shadaqah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memendam permusuhan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzai, Shahihul jami')
7. Bersedekah Kepada Tetangga

Allah subhanahu wata’ala berfirman di dalam surat an-Nisa' ayat 36, di antaranya berisikan perintah agar berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh. Dan Nabi juga telah bersabda memberikan wasiat kepada Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
"Jika engkau memasak sop maka perbanyaklah kuahnya, lalu bagilah sebagiannya kepada tetanggamu." (HR. Muslim)

8. Bersedekah Kepada Teman di Jalan Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang untuk keluarganya, dinar yang dinafkahkan seseorang untuk kendaraannya (yang digunakan) di jalan Allah dan dinar yang diinfakkan seseorang kepada temannya fi sabilillah Azza wa Jalla." (HR. Muslim)

9. Berinfak Untuk Perjuangan (Jihad) di Jalam Allah

Amat banyak firman Allah subhanahu wata’ala yang menjelaskan masalah ini, di antaranya,
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwa pada jalan Allah.” (QS. 9:41)

Dan juga firman Allah subhanahu wata’ala,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. 49:15)

Di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Barang siapa mempersiapkan (membekali dan mempersenjatai) seorang yang berperang maka dia telah ikut berperang." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Namun perlu diketahui bahwa bersedekah untuk kepentingan jihad yang utama adalah dalam waktu yang memang dibutuhkan dan mendesak, sebagaimana yang terjadi pada sebagian negri kaum Muslimin. Ada pun dalam kondisi mencukupi dan kaum Muslimin dalam kemenangan maka itu juga baik akan tetapi tidak seutama dibanding kondisi yang pertama.

10. Shadaqah Jariyah

Yaitu shadaqah yang pahalanya terus mengalir meskipun orang yang bersedekah telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,
"Jika manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal; Shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaat dan anak shalih yang mendoakannya." (HR. Muslim).

Di antara yang termasuk proyek shadaqah jariyah adalah pembangunan masjid, madrasah, pengadaan sarana air bersih dan proyek-proyek lain yang dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh masyarakat.

Sumber: Buletin “Ash-Shadaqah fadhailuha wa anwa’uha”, Ali bin Muhammad al-Dihami.
http://www.lazyaumil.org/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=101